About A Girl

Ini adalah pertama kalinya saya menulis suatu cerita pendek yang terinspirasi dari pengalaman nyata namun sedikit digabungkan dengan unsur fiksi. I hope you enjoy it.

——————————————————————————-

About A Girl

Pagi itu tidak seperti pagi seperti biasanya. Udara terasa lebih dingin, namun keadaan jauh lebih sunyi. Tanpa kicauan burung, tanpa kokok ayam. Aku hanya bersandar di kursi teras sambil merenungkan pilihan-pilihan masa depanku.

Tiba-tiba terlihat dari jauh, seorang laki-laki yang sebaya denganku mengenakan celana jeans hitam dan dan menutupi wajahnya dengan sweater bertudung abu-abu. berjalan mendekatiku, membuka pagar tanpa diminta, dan tiba-tiba saja dia sudah duduk disampingku sambil menyandarkan badannya ke kursi dan sedikit menengadah ke atas.

Aku  sama sekali tidak merasa takut dengan keberadaannya, hanya saja sedikit keheranan karena dia bertingkah seperti orang yang sudah akrab denganku alih-alih seperti orang asing. Wajahnya masih saja terhalangi tudung yang membuatku semakin penasaran

” Ceritakan padaku tentang dia ” Tiba-tiba dia berbicara

” Dia siapa maksudmu ?” Aku bertanya

” Tentang gadis itu ”  Balas Dia

” Gadis yang mana?” Tanya aku lagi

Sambil sedikit tertawa dia berkata “Kau tahu siapa yang kumaksud”

Instan. Aku langsung mengerti siapa gadis itu. gadis yang selama ini selalu kuhindari. bukan karena aku membencinya. tapi karena aku  takut terpesona lagi dengannya sementara aku tahu kalau aku tidak akan bisa mendapatkannya. ketidakyakinanku ini didasari pada fakta bahwa kami memiliki prinsip-prinsip hidup yang beda, sehingga sulit untuk disatukan. Interaksi dengannya betul-betul kubatasi pada hal yang betul-betul penting saja karena jika kubiarkan diriku terlalu ‘lepas’, maka aku dan cuma aku sendirilah yang akan mengacaukan perasaanku sendiri

Karena dia menyinggung hal ini, yang sebenarnya merupakan topik favoritku, maka aku pun mengabaikan status orang asingnya

Sambil tersenyum aku berkata kepada orang asing itu

“ Ada 3 hal yang membuatnya berbeda”

Pertama, Dia begitu mudah untuk dirindukan

Seberapa sibukpun aku dengan duniaku, sepertinya imaji tentang dirinya selalu menyelinap ke dalam pikiranku. Waktu dan pekerjaan biasanya menjadi pengalih perhatian akan rasa rindu, namun lain halnya dengan dirinya. Bahkan terkadang mencapai titik dimana aku berusaha keras untuk tidak merindukannya. Bukan karena aku tidak menyukainya, namun karena aku tidak ingin menderita karena rasa rindu, yang menurutku semestinya menjadi suatu hal yang menyenangkan

 Kedua,  Dia begitu mempesona dan mempesona

Aku menggunakan dua kata mempesona karena satu kata mempesona tidak cukup untuk menggambarkan apa yang aku rasakan tentang dirinya. Kata yang pertama mewakili keindahan rupanya, sedangkan kata yang kedua mewakili keanggunannya.

Terakhir, aku memperlakukannya secara berbeda di social media ‘path’

Biasanya, aku memberikan icon ‘love’ kepada status seseorang karena statusnya yang bagus, tempat check-in nya yang berkesan, atau karena foto yang di posting-nya menarik. Namun aku memberi icon love pada statusnya bukan untuk itu semua. Aku memberikan icon love karena itu memang tertuju langsung untuk dirinya. Untuk dirinya dan dirinya saja. Dan sebagai cara halusku untuk mengatakan apa yang selama ini kututup-tutupi.

“Itulah yang membuat dia berbeda” ungkapku

Aku mencoba menjawab pertanyaan orang itu dengan penuh kesadaran dan tanpa hiperbola. Sewajar mungkin. Namun aku tidak menyadari kalau sebenarnya orang asing yang bertanya itu adalah diriku sendiri. Tidak pernah ada orang yang duduk disampingku. Tidak ada pria asing dengan tudung abu-abu. Mungkin memang diriku sudah kadung rindu dengan kehadirannya. Dan mungkin sudah saatnya kuungkapkan itu.

[e]

 

Selalu Ada Dua Sisi Dalam Setiap Cerita

remember_there_are-26498

Beberapa minggu yang lalu teman kantor lama saya ,Toni, bercerita bahwa salah satu teman kami yang berinisial S akan mengundurkan diri. Otomatis saya sebagai orang yang merasa penasaran  langsung bertanya mengenai apa alasan yang jadi dasar pengunduran diri S.

Menurut Toni, S mengundurkan diri karena merasa di-masuk-kotakkan oleh atasannya. Di-masuk kotakkan dalam artian si S tidak diberi tugas apa-apa di kantor oleh bosnya tapi juga tidak dipecat. S datang ke kantor namun keberadaannya seperti tidak diperhatikan, karena semua tugas-tugas yang biasa dia handle dialihkan ke orang lain. Ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi teman saya S karena merasa akan disingkirkan pelan-pelan sehingga akhirnya muncul niat untuk mengundurkan diri.  Dari sini saya langsung berpikir negatif kalau bos si S ini tidak baik karena dia berusaha untuk menyingkirkan S dari divisinya tanpa ingin memecat langsung. Macam-macam prasangka buruk lainnya mulai berputar di kepala yang menuju pada satu kesimpulan: atasan si S itu jahat.

Kemarin saya bertemu teman kantor lama saya yang lain, Idho. Idho juga menceritakan bahwa S akan mengundurkan diri. Tapi menariknya, dia menceritakannya dalam versi yang berbeda. Si S pada awalnya bekerja di kantor pusat Jakarta. Oleh atasannya, dia diberitahu bahwa dia akan dipindah-tugaskan ke Palembang untuk mengisi suatu posisi disana. Mendengar keputusan atasannya, Si S yang asli orang Jawa merasa sangat keberatan. Dia mau dipindahkan ke cabang lain asalkan masih di daerah Jawa dengan pertimbangan pribadinya yang entah apa saya tidak tahu. Kemudian karena merasa tidak sreg dengan keputusan atasannya, S memutuskan untuk mengundurkan diri dengan cara tidak melanjutkan kontrak kerjanya yang kebetulan akan berakhir segera. Nah, dari cerita ini saya mengambil kesimpulan kalau sebenarnya atasannya itu tidak jahat seperti kesimpulan saya di versi Toni . Ini adalah murni sikap yang diambil S karena ketidakcocokannya dengan (keputusan) bosnya.

Dua cerita sangat bermakna bagi saya. Dari kedua cerita ini saya belajar bahwa untuk memahami suatu fakta atau sebuah cerita, kita harus melihat cerita utuhnya dan bukannya potongan-potongan cerita yang tidak lengkap. Cerita yang tidak lengkap akan membawa kita kepada pemahaman yang keliru dan menimbulkan prasangka buruk yang tidak semestinya ada.

Next time your friends tell you a story, you have to double-check it. Siapa tahu itu hanya potongan cerita yang tidak lengkap. Seperti orang buta yang menilai bentuk seekor gajah hanya dengan memegang telinganya.

Ciao!

sumber gambar: firstcovers.com

Alasan Resign : A True Story

Memutuskan untuk berhenti kerja bukanlah suatu hal yang mudah. Setidaknya itulah yang terjadi pada saya. Masuk ke ruangan bosmu dan memberitahukannya bahwa kau tidak ingin lagi bekerja disitu membutuhkan keberanian untuk mengatasi rasa gugup. Sampai-sampai saya sengaja membahas beberapa masalah pekerjaan terlebih dahulu sebagai ‘pendahuluan’ baru kemudian mengutarakan maksud yang sebenarnya  kebada Ibu Bos: Resign.

resign

Berbeda dari sebelumnya (ini sudah yang ketiga kalinya), alasan pengunduran diri kali ini adalah karena munculnya semangat untuk membangun bisnis sendiri. Jika dulu keinginan untuk bekerja di perusahaan yang (saya pikir) lebih baik menjadi dasar resign, maka kali ini yang menjadi dasar adalah adanya peluang bisnis yang saya pikir bisa dijalankan dan juga menyenangkan. Bekerja 50 jam dalam seminggu sudah merupakan rutinitas , dan jika 50 jam itu di-convert ke aktifitas bisnis, maka kelihatannya bisa menghasilkan sesuatu yang positif. Inshaa Allah

Hal lain yang harus dihadapai adalah menghadapi komentar-komentar orang lain yang bermacam-macam. Komentar yang muncul paling banyak adalah sebaiknya saya menjalankan bisnis saya sebagai bisnis sampingan saja sambil tetap bekerja di tempat yang sekarang. Sayangnya ketika kau bekerja 50 jam seminggu dari Senin – Sabtu, maka waktu luang adalah hal yang langka. Jikapun ada, maka saya cenderung ingin menghabiskannya dengan bersantai setelah seharian (atau 6 harian) lelah membangun perusahaan orang lain yang pemiliknya saja saya tidak kenali. Lagipula, bukankah fokus merupakan salah satu kunci sukses ?

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah meminta izin orang tua. Butuh sekitar 1 bulan untuk meyakinkan mereka. Saya bisa saja resign tanpa meminta izin mereka, tapi bagaimanapun Ridho Allah ada pada ridho orang tua dan akan lebih terasa nyaman jika mendapatkan support mereka ketimbang harus berselisih.

Now, I’ve been running my business – http://www.TravelSeru.com – for a couple week dan saya sangat menikmatinya karena akhirnya saya bisa mewujudkan ide-ide bisnis yang ada di kepala saya tanpa harus meminta approval dari atasan terlebih dahulu.

Terlepas dari semua penjelasan di atas, jika ditarik ke akar masalahnya, mungkin alasan saya sebenarnya gonta-ganti pekerjaan dan pada akhirnya membangun bisnis ini hanya satu alasan. Uniknya, ini saya sadari lewat kata-kata yang keluar dari teman saya @alhelaitte ketika saya memberitahu dia perihal niat saya resign dan membuat bisnis sendiri. Kata-katanya seperti ini:

“Kau memang tidak cocok jadi anak buah”

Saya cuma bisa merespon dalam hati: “Sepertinya memang seperti itu”

haha..  Ciao!

picture source: jobs.answer.com

Jika Dia Memang Mau Dia Akan Berusaha

Saya pernah membuat rencana untuk jalan-jalan dengan seorang teman. Janji itu kami buat 2 hari sebelum waktu yang disepakati, dan semuanya terlihat begitu lancar. Saat hari H telah tiba, saya menghubunginya dua kali via handphone untuk menanyakan ulang rencana itu. Tapi ternyata setelah dua kali menelpon ,tidak ada jawaban sama sekali. Selanjutnya muncul inisiatif untuk mengirim SMS. Tidak ada balasan. Akhirnya usaha terakhir yang bisa saya lakukan, dan juga berakhir gagal, adalah menelpon ke rumahnya untuk mengecek keberadaannya, hanya untuk mendapati bahwa ternyata dia tidak di rumah.

Sewaktu dia tidak merespon panggilan handphone yang berulang-ulang itu, saya sudah punya firasat kalau rencana jalan-jalan ini akan batal. Jadi ketika saya berusaha untuk terus dan terus menghubunginya,tujuan saya bukanlah untuk membuat rencana ini terealisasi tapi hanya sekedar mengejar ‘konfirmasi pembatalan’ agar agenda saya tidak menggantung.

Beberapa hari kemudian kami bertemu dan kecewanya saya, dia bertingkah seolah-olah tidak ada hal yang terjadi. Tidak ada minta maaf. Tidak ada apa-apa.  Yang terasa hari itu adalah perasaan kecewa,heran, dan sedikit marah (hanya sedikit karena dia teman baik saya) digabungkan jadi satu. Meskipun demikian saya berusaha untuk tidak menunjukkannya. Padahal kalau mau dipikir-pikir, sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi andai saja teman saya ini melakukan hal yang sangat sederhana: membalas sms dengan redaksi “sorry, saya tidak bisa”. Sesederhana itu.

Meskipun begitu, sampai saat ini saya masih berteman baik dengan orang itu. Friends do make mistake and it is our job to forgive them.

Pengalaman ini saya tulis bukan untuk curhat apalagi mengeluh. Tapi dari sini ada satu pelajaran yang sangat berharga yang bisa dijadikan contoh. Satu basic principle yang saya jadikan referensi dalam kehidupan. Pelajaran itu adalah:

Jika keduanya mau, kedua-keduanya akan berusaha. Tapi jika hanya satu yang berusaha maka sudah jelas apa artinya”

Jika dia memang mau, dia akan menjawab handphonenya. Jika dia memang mau dia akan membalas sms itu. Bahkan, jika dia memang sangat mau, maka dia yang akan menelpon terlebih dahulu dengan antusias. Tapi kenyataannya tidak.

“Ukuran keseriusan seseorang dalam menginginkan sesuatu diukur dari seberapa besar effort (usaha) yang dilakukannya”

Cerita kedua datang dari seorang teman. Teman saya ini pernah memiliki rencana untuk menikahi perempuan idamannya, yang kemudian berakhir gagal karena adanya “poin-poin keberatan” tertentu dari pihak keluarga perempuan. Tentu dia sangat sakit hati karena rencana pernikahannya gagal, apalagi ibunya sudah membayar DP yang tidak sedikit untuk biaya gedung. Tapi yang membuat dia lebih sakit hati adalah karena si perempuan sepertinya tidak memperlihatkan usaha apapun untuk mengatasi masalah itu, padahal teman saya sudah berjuang banyak untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain-lain sang laki-laki berjuang sendirian yang membuat kita bisa mempertanyakan ulang keseriusan niat dari si perempuan itu.

So, next time ketika kita membuat rencana, entah itu jalan-jalan, liburan, perjanjian bisnis, atau bahkan rencana pernikahan, kita bisa mengukur keseriusan partner kita dengan memperhatikan apakah dia melakukan “bagian usaha” yang seharusnya dia lakukan. If he/she doesn’t do it, then the only thing that you will get is an illusion. Ciao!