Saya pernah membuat rencana untuk jalan-jalan dengan seorang teman. Janji itu kami buat 2 hari sebelum waktu yang disepakati, dan semuanya terlihat begitu lancar. Saat hari H telah tiba, saya menghubunginya dua kali via handphone untuk menanyakan ulang rencana itu. Tapi ternyata setelah dua kali menelpon ,tidak ada jawaban sama sekali. Selanjutnya muncul inisiatif untuk mengirim SMS. Tidak ada balasan. Akhirnya usaha terakhir yang bisa saya lakukan, dan juga berakhir gagal, adalah menelpon ke rumahnya untuk mengecek keberadaannya, hanya untuk mendapati bahwa ternyata dia tidak di rumah.
Sewaktu dia tidak merespon panggilan handphone yang berulang-ulang itu, saya sudah punya firasat kalau rencana jalan-jalan ini akan batal. Jadi ketika saya berusaha untuk terus dan terus menghubunginya,tujuan saya bukanlah untuk membuat rencana ini terealisasi tapi hanya sekedar mengejar ‘konfirmasi pembatalan’ agar agenda saya tidak menggantung.
Beberapa hari kemudian kami bertemu dan kecewanya saya, dia bertingkah seolah-olah tidak ada hal yang terjadi. Tidak ada minta maaf. Tidak ada apa-apa. Yang terasa hari itu adalah perasaan kecewa,heran, dan sedikit marah (hanya sedikit karena dia teman baik saya) digabungkan jadi satu. Meskipun demikian saya berusaha untuk tidak menunjukkannya. Padahal kalau mau dipikir-pikir, sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi andai saja teman saya ini melakukan hal yang sangat sederhana: membalas sms dengan redaksi “sorry, saya tidak bisa”. Sesederhana itu.
Meskipun begitu, sampai saat ini saya masih berteman baik dengan orang itu. Friends do make mistake and it is our job to forgive them.
Pengalaman ini saya tulis bukan untuk curhat apalagi mengeluh. Tapi dari sini ada satu pelajaran yang sangat berharga yang bisa dijadikan contoh. Satu basic principle yang saya jadikan referensi dalam kehidupan. Pelajaran itu adalah:
“Jika keduanya mau, kedua-keduanya akan berusaha. Tapi jika hanya satu yang berusaha maka sudah jelas apa artinya”
Jika dia memang mau, dia akan menjawab handphonenya. Jika dia memang mau dia akan membalas sms itu. Bahkan, jika dia memang sangat mau, maka dia yang akan menelpon terlebih dahulu dengan antusias. Tapi kenyataannya tidak.
“Ukuran keseriusan seseorang dalam menginginkan sesuatu diukur dari seberapa besar effort (usaha) yang dilakukannya”
Cerita kedua datang dari seorang teman. Teman saya ini pernah memiliki rencana untuk menikahi perempuan idamannya, yang kemudian berakhir gagal karena adanya “poin-poin keberatan” tertentu dari pihak keluarga perempuan. Tentu dia sangat sakit hati karena rencana pernikahannya gagal, apalagi ibunya sudah membayar DP yang tidak sedikit untuk biaya gedung. Tapi yang membuat dia lebih sakit hati adalah karena si perempuan sepertinya tidak memperlihatkan usaha apapun untuk mengatasi masalah itu, padahal teman saya sudah berjuang banyak untuk menyelesaikannya. Dengan kata lain-lain sang laki-laki berjuang sendirian yang membuat kita bisa mempertanyakan ulang keseriusan niat dari si perempuan itu.
So, next time ketika kita membuat rencana, entah itu jalan-jalan, liburan, perjanjian bisnis, atau bahkan rencana pernikahan, kita bisa mengukur keseriusan partner kita dengan memperhatikan apakah dia melakukan “bagian usaha” yang seharusnya dia lakukan. If he/she doesn’t do it, then the only thing that you will get is an illusion. Ciao!