Makassar:The People & The Love

Berpindah-pindah kota merupakan bagian dari perjalanan hidup saya selama 3 tahun terakhir, entah itu berpindah domisili karena tuntutan pekerjaan atau sekedar kunjungan dinas temporer. Kendari, Jakarta, Banjarmasin, Pontianak, Surabaya adalah beberapa kota diantaranya. Tiap kota menawarkan pengalaman yang berbeda serta memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing

Jakarta menawarkan fasilitas yang lengkap, hiburan yang tak terbatas, dan banjir yang menyedihkan.  Kalau gaji tinggi yang ada cari maka itu bisa didapatkan disini. Surabaya mengagetkan saya dengan biaya hidupnya yang sangat murah, segelas milo hangat hanya dijual dengan harga seribu rupiah. Kendari sendiri adalah miniatur mini dari Makassar, kota yang sedang berkembang dan pelan-pelan akan menjadi kota modern  dengan satu syarat:  memperbaiki suplai air PDAM yang hanya jalan pada hari-hari weekend. Pontianak? Nothing much to say kecuali fakta bahwa ini adalah kota yang dilintasi garis equator dan adanya pemadaman listrik tiap hari Sabtu selama 3 minggu saya disana.

Satu hal yang selalu saya pikirkan ketika merantau di kota-kota tersebut adalah kota kelahiran saya, Makassar. I know and I acknowledge kalau Makassar bukanlah kota terbaik dihuni jika dilihat dari berbagai macam hal. Kemacetannya bertambah parah.  Demonstrasi makin banyak dan makin tidak jelas judulnya. Sampai sekarang saya tidak mengerti apa hubungannya antara merusak resto McDonalds dengan demonstrasi yang mereka lakukan. Kadang-kadang saya merasa Makassar adalah medan perang mini, dan jika pemerintah suatu saat ingin memilih satu kota sebagai pilot project untuk program wajib militer, I strongly suggest supaya mereka memilih Makassar.

City-of-Makassar_zps4633f293

Terlepas dari itu semua, saya tetap mencintai kota ini dengan segala kekurangannya. Persis seperti orang yang jatuh cinta yang hanya bisa kelebihan-kelebihan pasangannya yang mempesonakan mata, sementara kekurangannya hanya menjadi background yang blur. Ketika orang luar mengatakan bahwa menyetir di Makassar adalah hal yang sulit, maka saya cuma mengganggap mereka belum tahu caranya saja. Tapi kelebihan utama dari Makassar yang sebenarnya adalah: “The People”. Saya suka bagaimana cara orang Makassar yang ceplas-ceplos, berkata apa adanya, dan kelihatan tidak sensitif; Tapi disisi yang lain mereka penuh kebersamaan dan saling peduli satu sama lain. Rasanya saya lebih memilih tinggal di Makassar yang  bercuaca panas daripada tinggal di kota lain yang penuh dengan orang berhati dingin. Fasilitas Makassar mungkin tidak selengkap Jakarta tapi hampir semua kebutuhan (ataupun keinginan) tersedia disini. Kota ini juga adalah kota dengan banyak peluang bagi mereka yang memiliki mata terlatih. Satu hal yang penting yang orang harus ketahui bahwa Makassar memiliki harta karun yang tidak ketahui semua orang. Harta karun Makassar adalah.. cinta.

Leave a comment